Bismillah, Assalamu'alaikum temans, apa hal paling memorable dalam hidupmu? Yang udah berlalu lama, namun rasanya masih sangat membekas dalam ingatan?
Kalo dipikir-pikir, hal memorable dalam hidup saya kebanyakan selalu ada kaitannya dengan makanan. Saya masih ingat jelas, waktu kecil dulu, saat masih tinggal di Bandung, hampir tiap minggu Papa ajak kami jogging ngiterin gedung sate, kemudian pulangnya akan membeli odading (bolang-baling kalo di Jawa) dan sebotol susu.
Saya juga ingat makanan favorit yang sering Papa bawakan saat pulang kantor adalah pisang molen dan kue terang bulan, beli di perempatan pangkalan becak yang dilaluinya menuju rumah.
Kalo pas mudik, alm mbah kakung suka mengajak saya dan kakak jalan sore, pulangnya mampir ke toko dan membelikan jajan. Sementara mbah putri suka sekali beliin kami bolu yang bentuknya boneka beruang sepulang dari pasar. Makanan-makanan itu, makanan yang membawa saya pada nostalgia kenangan masa kecil yang indah dan menyenangkan.
Kenapa hal yang berkaitan dengan makanan mudah membangkitkan memori. Mungkin alasan pertama karena saya doyan makan, haha. Tapi setelah saya baca-baca beberapa literasi di internet ternyata hal ini ada kajian psikologisnya juga lho.
Menurut artikel yang saya baca dari detikfood, dibanding memori lainnya, memori soal makanan bersifat lebih kuat dan menggugah. Psikolog dan neuroscientist Hadley Bergstorm mengatakan memori yang melibatkan indra pengecap cenderung menjadi memori asosiatif terkuat yang bisa kita buat.
Profesor Psikologis dan Ilmu Otak di Universitas Massachusetts, Susah Whitborne mengatakan memori makanan bersifat nostalgia karena ada konteks lebih luas yang menyertainya. Memori makanan menjadi kuat bukan hanya karena kita membutuhkan makanan untuk bertahan hidup. Tetapi juga karena dibentuk oleh konteks yang mencakup orang-orang di dalamnya, situasi dan emosi yang terlibat.
Ternyata bukan hanya saya . Hal ini pun dirasakan oleh anak-anak. Pada suatu malam tahun baru, saya berinisiatif untuk menggelar kasur di balkon lantai dua rumah, supaya kami bisa menyaksikan kembang api meski hanya dari rumah. Lalu membeli martabak sebagai cemilan. Ternyata ini merupakan salah satu aktivitas yang menyenangkan dan memorable bagi mereka sehingga suka sekali mereka ceritakan berulang-ulang dengan gembira.
Dari situlah saya menyimpulkan, ngemil bisa menciptakan momen berharga dengan orang-orang terkasih.
Tapi... ada tapinya nih, ngemil juga dituding sebagai aktivitas yang kurang baik bagi kesehatan salah satunya karena bisa menyebabkan obesitas alias kelebihan berat badan sekaligus kekurangan berat dompet. Lha iya belanja cemilan ini cukup menguras kantong lho. Apalagi udah beli jatah cemilan buat sebulan eh ludes aja dalam seminggu.
Jadi gimana dong, ngemil itu baik atau buruk?
Menurut saya bisa jadi baik tapi bisa juga menjadi buruk, tergantung bagaimana cara kita ngemil dan pilihan camilannya. Saya merasa ngemil ini aktivitas yang menyenangkan bisa menciptakan momen berharga asalkan kita bisa ngemil dengan bijak.
Sabtu 22 Agustus kemarin saya mengikuti webinar dengan tema menarik dan pas dengan pembahasan kita di atas, yaitu #NgemilBijak. Webinar ini diselenggarakan Mondelez Indonesia bersama komunitas Ibu-ibu Doyan Nulis.
Kampanye #NgemilBijak diinisiasi Mondelez Indonesia yang merupakan salah satu dari daftar produsen makanan terbesar dunia, guna mendorong setiap orang untuk lebih bijak mengkonsumsi camilan, sehingga mendapatkan manfaat secara lebih seimbang baik untuk tubuh maupun pikiran.
Kenapa Ngemil Harus Bijak?
Mengapa ngemil bijak ini penting untuk digaungkan? Mbak Khrisma Fitriasari, Head of Corporate Communication Mondelez Indonesia, dalam acara webinar kemarin mengungkapkan hasil survey Mondelez di akhir tahun 2019, yang menunjukkan orang Indonesia doyan ngemil, dengan berbagai macam tujuan.
Mbak Khrisma dari MOndelez Indonesia memaparkan survey kebiasaan ngemil orang Indonesia |
Ditambah keadaan saat ini, di mana masa pandemi menyebabkan banyak aktivitas dilakukan #dirumahaja membuat kebiasaan ngemil semakin rentan terjadi. Kalau menurut mbak Tara De Thouars seorang Psikolog klinis yang juga turut menjadi pembicara di acara webinar kemarin, ada istilah emotional eating. Yaitu menggunakan makanan sebagai pelarian dari stres. Menurutnya, betul bahwa makanan bisa meningkatkan hormon happy dan mengurangi masalah atau emosi negatif kita. Itulah kenapa saat emosi negatif bawaannya lapar terus, lalu kita mencari pelarian agar merasa lebih happy. Ya salah satunya dengan makanan, yang mudah didapat dan banyak pilihan dari segi rasa sampai ke harga.
Hal ini diamini mbak Alfa Kurnia yang mewakili komunitas Ibu-ibu Doyan Nulis. Kata Mbak Alfa, sejak anak-anak menghabiskan waktu di rumah, jadi merasa gampang lapar sehingga porsi ngemil-nya makin banyak, sebatang coklat bisa habis dalam sekali duduk. Pasti banyak yang membatin nih, "Kok sama ya?!" hahaha.
Yang ditakutkan, kalau berlebihan atau jenis camilannya kurang sehat akan memberikan dampak yang kurang baik bagi tubuh dan jadi malas makan makanan utama karena kebanyakan ngemil.
Boleh Ngemil, Tapi Harus Bijak
#NgemilBijak adalah sebuah kampanye ngemil yang membuat kita merasa positif, pas untuk tubuh dan tidak merasa bersalah. Seperti yang disampaikan Mbak Tara di atas kalau ngemil bisa meningkatkan hormon yang membuat kita merasa senang, maka tujuan dari ngemil bijak adalah bergembira saat menyantapnya dan tidak meninggalkan dampak buruk setelahnya.
Ada lima langkah yang bisa kita lakukan untuk ngemil bijak tanpa rasa bersalah
1. Cek sinyal tubuh.
Ketika ada keinginan untuk ngemil, coba cek sinyal tubuh. Ajukan pertanyaan pada diri sendiri. Apakah saya lapar? Seberapa banyak saya membutuhkannya? Rasa lapar ini karena fisik atau emosional belaka?
Jadi kita harus bisa secara sadar membedakan sinyal lapar yang dikirimkan perut dengan sinyal lapar dari anggota tubuh lainnya. Misalkan lewat toko roti membaui aromanya lantas ingin beli roti, parahnya semua ingin dibeli karena terlihat menggiurkan, nah bukan lapar perut tapi lapar mata namanya. Coba ajukan pertanyaan tadi sebelum memutuskan untuk membeli. Karena bisa jadi itu hanya emotional hunger belaka.
Snacking dengan mindfullness eating |
Kebiasaan Ngemil Bijak Dimulai dari Keluarga
Membentuk sebuah kebiasaan tentulah sangat baik dilakukan semenjak anak-anak kecil. Keluarga mempunyai peran yang paling penting dalam membentuk kebiasaan anak termasuk dalam hal kebiasaan ngemil. Menurut Mbak Khrisma, survey menunjukkan kebiasaan ngemil orang tua diturunkan kepada anak-anak. Sebanyak 92% responden penelitian di Indonesia menyatakan camilan yang mereka berikan kepada anak-anak mereka, terinspirasi dari camilan yang orang tua mereka berikan.
Masalah yang biasa terjadi pada sebuah keluarga saat membentuk kebiasaan ngemil bijak ini adalah, tidak tega ketika ada anggota keluarga, terutama anak, meminta sesuatu berupa makanan/minuman yang sebenarnya itu tidak baik untuk dikonsumsi oleh mereka. Dengan dalih rasa sayang kita lantas memberikannya. Disinilah kita harus paham perbedaan antara cinta dan kasihan.
Apa yang harus dilakukan orang tua untuk membentuk kebiasaan ngemil bijak pada seluruh angogta keluarga?
1. Orang tua memperbaiki pola makan, karena orang tua adalah role model bagi anak. Bagaimana mungkin kita pengen anak ngemil bijak kalo kita sendiri ngemilnya barbar haha.
2. Atasi perasaan bersalah. Pikirkan baik-baik alasan kita memberi camilan pada anak. Karena kasihan, tidak tega,atau karena memang mencintai anak? Memberi sesuatu hanya karena kasihan bisa saja menimbulkan perasaan bersalah di kemudian harinya. Karena kita memberikan kenikmatan sesaat namun dampak buruk di belakangnya.
3. Mengutamakan kebutuhan bukan keinginan. Dorongan ngemil bisa muncul karena betul-betul kita membutuhkannya atau hanya karena ingin saja. Ajak anak untuk memahami perbedaannya agar bisa terbentuk kebiasaan ngemil bijak.
Menciptakan Momen Berharga dengan Ngemil Bijak
Setiap orang pasti ingin menciptakan momen berharga yang harapannya akan dikenang sepanjang masa. Ngemil bijak adalah salah satu caranya.
Memori makanan lebih sensoris dibanding memori lain karena melibatkan kelima indera. Jadi ketika Anda benar-benar terlibat dengan stimulus, efeknya lebih kuat. (Susah Whitborne, Profesor Psikologis dan Ilmu Otak di Universitas Massachusetts dikutip dari detikfood)
Kalau saya ingat-ingat lagi, orang tua saya sedikit banyak sudah menerapkan pola ngemil bijak sedari saya kecil dulu. Ya ngemil bagi saya saat itu sesuatu yang mewah. Jadi ngga bisa ya sewaktu-waktu pengen ngemil, lantas ambil makanan dari lemari. Oooh, tak semudah itu ferguso.
Ortu saya memberlakukan jadwal ngemil, meski tidak secara eksplisit disampaikan, tapi bisa kami simpulkan sendiri. Biasanya kami diberi camilan di waktu sore. Porsinya pun sudah ditakar dan dijatah. Terkadang camilan diberikan sebagai reward atas suatu hal positif yang sudah kami lakukan. Nah mungkin karena itu juga ya momen ngemil jadi begitu membekas dalam ingatan saya.
No comments:
Post a Comment