Ada yang saya sesali selama sekitar 7 tahun lamanya tinggal di Makassar, Sulawesi Selatan. Mengapa masa itu tidak saya gunakan untuk sepuas-puasnya jelajah alam dan kuliner Wallacea?
Ya saya pernah tinggal selama kurang lebih 7 tahun di Makassar. Pertamakali ke sana saat saya kenaikan kelas 4 SD, sampai pertengahan kelas 3 SMP. Lalu kembali ke sana setelah saya menamatkan kuliah. Bekerja selama satu tahun setengah di Makassar, sampai akhirnya pulang kampung lagi ke Jawa.
Kampung adat Wae Rebo. Pic from Campa Tour |
Selama 7 tahun, dearah luar Makassar yang saya kunjungi baru Maros, Malino dan Pare-pare. Makanan tradisional juga belum seberapa banyak yang saya cicipi. Baru coto, sop konro, es palu butung, sarabba, pisang epe, dan kapurung.
Dulu, arus informasi belum semudah sekarang. Baru mulai mengenal internet saat kelas satu SMU. Itupun harus ke warnet, yang dibuka palingan chat room, ngechat ngalor ngidul ngga jelas juntrungannya haha. Setelah saya mulai ngeblog, kenal banyak orang dari berbagai penjuru Indonesia. Mulai tahu keindahan alam Indonesia baru kepikiran, daerah Wallacea begitu menarik untuk ditelusuri. Tapi saat itu saya sudah di Jawa dan ongkos ke sana lumayan mahal. Kenapa ngga dari dulu buuu? batin saya. Kalo startnya dari Makassar kan ngga mahal-mahal amat.
Wallacea? Apa itu?
Kawasan Wallacea merupakan zona transisi antara Asia dan Australia yang meliputi Pulau Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Maluku. Nama Wallacea diambil dari seorang naturalis Alfred Russel Wallace. Ia menyadari ada perbedaan karakteristik hewan di Kalimantan dan Sulawesi, Bali dan Lombok sehingga mengajukan teori ada garis tak kasat mata yang membujur atara Kalimantan dan Sulawesi, Bali dan Lombok yang memisahkan fauna dari pulau-pulau tersebut yang disebut garis Wallace.
Burung bidadari Halmahera. Pic: Kompas |
Menarik! Itulah sebabnya di tanggal 18 April lalu, bertepatan dengan food travel day, saya antusias mengikuti webinar dengan tema Jelajah Alam dan Kuliner Wallacea. Di samping, saya punya keterikatan emosi dengan salah satu kawasan Wallacea yang selalu saya sebut dengan kampung halaman kedua. Apalagi penyelenggaranya adalah Climate Reality Indonesia bersama Omar Niode Foundation dan para mitranya pasti nanti ada kaitannya dengan hal-hal yang bersifat ramah lingkungan.
Webinar Jelajah Alam dan Kuliner Wallacea
Dalam opening webinar Jelajah Alam dan Kuliner Wallacea, ibu Amanda Katili Niode selaku Host yang juga merupakan Ambassador World Food Travel Association – Wallacea mengatakan alasan mengapa mengangkat tema kuliner. Menurutnya, pangan merupakan problem yang berkontribusi terhadap krisis iklim sekaligus solusi yang bisa mengatasinya. Lalu mengapa Wallacea? Karena Wallacea merupakan daerah yang sangat unik baik dari sisi ilmu pengetahuan, budaya, masyarakat, maupun kuliner.
Ibu Amanda menyebutkan, wisata kuliner dapat meningkatkan pendapatan suatu daerah/destinasi. 25% pengeluaran pelancong masuk ke makanan, apalagi jika itu makanan khas.
Dalam webinar tersebut, Erik Wolf selaku direktur eksekutif World Food Travel Association (Asosiasi Wisata Kuliner Dunia) yang didirikan pada tahun 2003 turut memberikan sambutan. Erik mengatakan , saat perjalanan ke Indonesia beberapa tahun lalu, ia menikmati kuliner yang luar biasa juga bertemu dengan orang-orang luar biasa. Ia juga mengajak para pelaku usaha maupun pelancong usaha kuliner berbagi cerita pada World Food Travel Day dengan menandai @worldfoodtravelassn dan tagar #worldfodtravelday.
Pengalaman Aris Prasetyo Menjadi Pimpinan Tim Ekspedisi Wallacea 2018-2019
Aris Prasetyo jurnalis harian Kompas merupakan pimpinan projek ekspedisi Wallacea kerjasama dengan British council memperingati 150 tahun buku Alfred Russel Wallace The Malay Archipelago.
Mas Aris menceritakan tentang keunikan Wallacea salah satunya tentang satwa yang endemik hanya ada di Wallacea seperti burung bidadari Halmahera, burung Maleo dll. Wallacea juga memiliki sisi keunikan dari segi arsitektur, bahasa, budaya, maupun kuliner. Direktur British Council pada saat itu Bp.Paul Smith sempat mengatakan pada tim jelajah Wallacea, keragaman adalah takdir nusantara jadi kekayaaan dan keragaman harus dipertahankan, dirawat, dan dijaga.
Mencicipi makanan tradisional. Pic: Aris Prasetyo |
Mas Aris juga menunjukkan beberapa foto kuliner yang sempat ia cicipi selama jelajah Wallacea. Salah satunya 17 macam sambal yang dibuat bersama penduduk lokal selama Arif berada di sana. Kalau mau baca artikel mas Arif tentang ekspedisi Wallacea selama 6 bulan bisa baca di Jelajah Kompas Edisi Wallacea (klik!)
Tips Jalan-Jalan Hemat ke Wallacea dari Fitria Chaerani (Campa Tour)
Setelah mendengar cerita mas Aris ditambah baca-baca tulisannya di Kompas tentang Wallacea, pasti pengen banget dong ikutan berwisata ke Wallacea. Tapi Wallacea kan lumayan jauh ya (untuk saya yang tinggal di pulau Jawa) belum lagi biaya hidup di sana yang bisa jadi lebih besar daripada di Jawa. Nah, makanya perlu strategi khusus agar kita bisa traveling hemat ke Wallacea.
Wisata alam Wallace. Pic: Campa Tour |
Dalam webinar kemarin, mba Fitria dari Campa Tour yang pernah membawa pelancong jalan-jalan di daerah yang termasuk di kawasan Wallacea turut membagi tipsnya.
Ada hal-hal yang peru kita persiapkan jika hendak traveling ke Wallacea:
1. Buat skala prioritas (mau wisata alam, sejarah, atau budaya)
2. Pilih guide lokal untuk menemani traveling karena tujuan wisata kita juga memberikan impact dan menjalin silaturahim dengan masyarakat lokal. Orang lokal juga pasti lebih paham dengan daerah nya sehingga kita bisa mendapat informasi tambahan mengenai tempat wisata di daerah bersangkutan. Bisa cari di forum traveler dll.
3. Buat perkiraan budget. Riset dulu ya, karena medannya sangat beda dengan di Jawa tidak semua bisa dijangkau lewat jalur darat.
4. Persiapkan untuk hal-hal yang tak terduga, baik dari segi waktu maupun biaya.
Mba Fitria juga membagikan perkiraan budget untuk traveling ke salah satu kawasan Wallacea.
Pangan Bijak Nusantara oleh Bapak Firdaus
Pak Firdaus menyampaikan bahwa kita perlu gerakan untuk menyampaikan nilai-nilai budaya maupun nutrisi dari pangan tradisional. Menurutnya, keanekaragaman pangan dan kearifannya berbasis sumber daya lokal menjadi faktor kunci untuk tercapainya kemandirian, kedaulatan, dan ketahanan pangan, sehingga nutrisi terjamin sembari memberi peluang ekonomi melalui usaha kuliner.
Gula aren dimanfaatkan untuk kuliner dan kecantikan |
Produk pangan bijak merupakan produk yang tidak mengalami perubahan secara kimiawi, kaya gizi dan protein, bernilai budaya, diolah secara sehat, dan berkelanjutan. Contohnya gula aren dan VCO.
Ragam Kuliner Wallacea oleh Meilati Batubara
Mba Meilati Batubara bersama suaminya Chef Ragil adalah pemilik restoran Nusa Indonesian Gastronomy di Kemang. Mereka juga rajin memberikan pelatihan berkaitan dengan kuliner, riset, dan akan menerbitkan buku.
Dalam kesempatan webinar kemarin Mbak Mei menampilkan ragam kuliner Wallacea. Bahan-bahan yang terkandung dalam kuliner Wallacea umumnya terdiri dari bahan-bahan khas yang ada di wilayah tersebut, di antaranya:
1. Sagu
2. Jagung Pulut
3. Rempah-rempah
4. Kacang Kenari
5. Asam Patikala
6. Ketam Kenari
Sementara itu, kekhasan pangan Wallacea meliputi:
1. UMBI. Menggunakan berbagai umbi-umbian seperti singkong, ubi, talas atau ubi jalar sebagai
bahan utamanya. Disajikan dengan dicampur di dalam sup, dikukus, maupun digoreng.
2. IKAN/BABI/KERBAU. Sebagai negara kepulauan, masyarakat di zona Wallacea terutama menyantap ikan dan aneka hasil laut lainnya. Sementara warga di pedalaman lebih banyak menyantap daging babi. Sementara kerbau/sapi umumnya dihidangkan dalam acara-acara adat.
3. JAGUNG. Jagung khususnya di daerah Nusa Tenggara digunakan sebagai hidangan utama di berbagai resep. Bisa juga disajikan sebagai staple food seperti jagung titi.
4. PISANG. Seluruh bagian pisang, dari buah, bunga serta batang pohon pisang bisa digunakan sebagai bahan makanan. Sedangkan daunnya selalu digunakan sebagai bagian dari proses masak.
Yang membuat saya salut, Mbak Mei sangat peduli dengan isu pangan bijak. Ia sering memberi pelatihan membuat makanan dengan menggunakan bahan lokal. Misalnya, alih-alih menjual bakso daging sapi yang harus didatangkan dari luar, kenapa tidak bikin bakso ikan yang bahan bakunya melimpah di dalam daerah sendiri.
Ia juga sangat peduli pada kemasan makanan ramah lingkungan. Karena prihatin melihat masyarakat yang menjual minuman dalam kemasan sachet, ia mengajarkan membuat sirup sendiri dengan bahan alami seperti sereh. Harga lebih murah tidak perlu pakai pengawet dan tidak menghasilkan sampah.
Selain itu, Mbak Mei mendorong masyarakat untuk bangga dengan resep tradisional. Karena para pengunjung yang datang pastilah mencari makanan tradisional. Makanan juga harus diolah secara higienis.
Menutup sesi, Mba Mei bercerita bahwa pada 2019 lalu Nusa Gastronomy Foundation memenangkan Most Innovative Use of Local Ingredients. Pesertanya berbagai datang dari berbagai negara loh. Waah keren ya! Nah temen-temen kalo mau datang ke restonya Mba Mei bisa langsung ke Kemang Jakarta.
Meski hanya lewat webinar, saya dapat merasakan keseruan jelajah alam dan kuliner Wallacea. Semoga bermanfaat ya rangkuman webinar ini. Kalau mau dengar rekaman utuhnya bisa di Youtube Climate Reality Indonesia.
Bismillah.. Semoga ada rejeki secara langsung merasakan serunya jelajah Wallacea, sekalian pulang ke kampung halaman kedua, aamiin :)
Seru ngelihat suasana dan kondisi di Wallacea, tapi ada rasa2 gimana juga gitu ya Kak kalau pergi kesana sendirian. Harus mesti pake jasa penyedia paket wisatanya.
ReplyDelete