Monday, December 16, 2019

Memilih Pendamping Hidup

Beberapa waktu lalu pas saya ke Kudus, saya menemukan buku diary jaman SMP-SMA. Saya baca sambil senyum-senyum sendiri. Di buku itu ada cerita tentang cita-cita, musuhan sama sahabat, cowok yang saya taksir, sampai penyiar radio yang saya idolakan.

My diary..

Saya menuliskan dengan detail, beberapa kejadian jaman sekolah. Kaya misalnya pas saya nobar di kampus UNHAS yang di sana ketemu sama penyiar idola, kami nonton apa, habis nonton ngapain, numpang sholat di mana, terus ngobrolin apa, itu semuaaa saya tulis, detail. Hal-hal yang kalo saya ngga baca buku itu, saya bakal lupa. Tapi setelah membaca saya seperti terlempar lagi ke masa itu, dan mengingat kejadiannya meski sedikit.

Saya jadi terpikir, sekarang saya jarang menulis macam itu lagi. Padahal ada hal remeh temeh yang kalau diingat bisa bikin kita bahagia. Ya memori otak manusia seberapa banyak sih. Kita butuh sesuatu yang menstimulasi untuk mengingatnya, yaitu dokumentasi. Bisa foto, video, bahkan tulisan.

Nah sekarang mau mencoba mengingat-ingat lagi momen penting demi #melawanlupa. Kali ini saya pengen nulis tentang memilih pendamping hidup. Alasan mengapa saya memilih dia menjadi suami saya.

Ingat ngga jaman SD suka pada nulis biodata di diary teman, tentang kriteria cowok atau cewek idaman: Yang cewek pengen cowok tinggi, putih (ada juga yang suka hitam manis), ngemong, baik pengertian. Kalo yang cowok biasanya tipe ceweknya yang cantik, berambut panjang, ya gitu-gitu deh. Padahal ya, kaya katanya Reza Rahardian di film Imperfect, cari yang cantik gampang, tapi yang cocok itu yang susah.

Iyalah, cowok cakep, cewek cantik itu mudah aja kita temui, tapi masalahnya mau ngga sama kita #eh bukan gitu juga sih, masalahnya cocok ngga. Itu yang ngga kepikiran jaman dulu. Ya namanya juga masih bocah kan.

Hal yang menarik dibahas, ketika seseorang memutuskan untuk mau menikah adalah, mengapa kamu memilih dia. Ya dari sekian banyak perempuan atau laki-laki, kenapa dia yang kamu pilih? Apa karena hanya dia yang mau sama kamu? Haha melas men.

Tiap orang pasti punya alasan yang beda, karena definisi cocok bagi tiap orang juga ngga sama. Jadi apa yang menyebabkan saya mau menikah dengan suami saya?

Begini ceritanya... *halah sok-soak an kaya ada yang mau baca aja :p

Jadi dulu saya bertemu sama suami itu di tempat les bahasa Inggris. Sebenarnya ketika saya pertama kali datang ke tempat les, saya udah melirik satu lelaki yang rencana akan saya gebet, dan itu bukan dia huahahah. Lelaki calon gebetan ini saya dan kakak (yang juga les di sana) menyebutnya laki-laki 24 tahun, karena waktu kenalan, saya tahu usianya 24 tahun (waktu itu saya baru 20).

Berawal dari sini. Hayoo tebak mana saya dan suami?

Saya sama suami kebetulan berada di grade dan kelas yang sama di tempat les. Lalu pada sesi introduction, entah kenapa teachernya itu kaya mocok-mocok in, bahasa Indonesianya jodoh-jodohin lah, saya sama dia.

Pulang les, pas saya dan kakak saya lagi nemenin temen kos nunggu jemputannya, dia menghampiri saya dan langsung minta nomor HP. Yaa karena saya pikir temen sekelas, saya kasih aja kan ya. 

Ohya pada saat kenalan pulang les itu dia juga kasih saya sebuah buku komik, fotokopian. Saya kemudian tanya, "Ini apa sih? Buku-buku yang suka dijual di bus-bus itu ya?" Haha sungguh under estimate. Padahal itu komik karya dia. Jaman dulu komikus lokal banyak yang kaya gitu kalo nerbitin komik, difotokopi. Istilahnya komik indie.

Singkat kata singkat cerita (kalo diceritakan detail ntar mboseni hahah) saya memutuskan untuk oke sepertinya saya menerima dia untuk jadi pendamping hidup saya. Alasan paling utama sih, saya merasa nyambung saat berkomunikasi dengan dia, kemudian saya juga merasa cocok dengan keluarganya. Ya cocok dengan keluarga itu juga penting selain cocok dengan yang bersangkutan, apa mau makan hati terus kalo ngga cocok sama keluarganya nanti setelah menikah? Saya ngerasa background keluarganya baik, jadi saya yakin dia juga orang baik.

Setelah itu dia mengajak ortunya bertemu ortu saya, padahal saat itu kakak-kakak saya aja belum ada yang memperkenalkan calonnya >.<

Alhamdulillah sih ortu memberi lampu hijau. Suami saya (dulu belum suami) bahkan pernah jadi sopirnya papa selama 3 bulan di Semarang,  waktu saya masih di kerja di Makassar.

Pekerjaan dan penghasilan tentu jadi pertimbangan juga saat memilih calon pendamping. Saat menikah, suami saya masih jadi freelancer komikus yang pendapatannya ngga pasti. Tapi saya melihat, meski saat ini hasilnya belum seberapa tapi dia punya mimpi. Dia menceritakan mimpinya di masa depan apa, dia mau bagaimana, jadi saya percaya suatu saat kami bersama-sama bisa mewujudkan mimpi itu.

Nah bagaimana dengan kamu yang baca postingan ini, mungkin mau share cerita juga apa yang membuatmu memilih suami/istri menjadi pendamping hidupmu saat ini.

Saya menulis ini lebih untuk #melawanlupa. Pengennya sih ingatan saya tajam terus ya. Tapi kalau mungkin ada hal-hal yang terlupa, saya bisa ingat kembali dengan membaca ini.

No comments:

Post a Comment