Friday, September 27, 2019

Peran Keluarga dan Masyarakat Atasi Krisis Literasi Anak Negeri

“Mah, soal yang ini jawabannya apa?” tanya Thifa kemudian membaca dengan keras salah satu soal dari buku pelajaran sekolahnya. 

“Baca dulu dong kak bukunya, pasti ada jawabannya di sana,” kata saya. 

“Ngga ada Mah, udah kubaca,” jawabnya lagi. 

Saya lantas mengambil bukunya, membaca materi yang ada sebelum lembar soal, rasa-rasanya tidak mungkin kalau jawaban dari soal tersebut tidak ada dalam buku. Dan benar saja, tidak sampai 2 menit saya membaca, sudah menemukan jawabannya. 

“Lho ini apa Kak?” kata saya sambil menunjukkan kalimat jawaban dari soal yang ditanyakannya. 

Tidak cuma sekali, kejadian seperti ini sudah berulangkali terjadi. Bahkan suatu hari pernah, waktu sedang mengerjakan PR dari sekolah, Thifa bilang, “Cari aja jawabannya di Google Mah!” 

Hah? Gawat, jangan-jangan anak saya krisis literasi

Indonesia Krisis Literasi, Benarkah? 

Apa itu literasi? Menurut KBBI, literasi merupakan kemampuan menulis dan membaca, atau kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup.

Baca buku di perpustakaan
Sementara malangtoday.net melansir dari Kantor Staf Presiden Indonesia, menyebutkan, bahwa indikator literasi bukan sebatas kemampuan baca dan tulis saja. Literasi berarti kemampuan memaknai teks dalam berbagai dimensi, di antaranya adalah huruf, angka, dan simbol kultural lainnya sehingga tidak menimbulkan kedangkalan informasi. 

Pernah kan menjumpai orang yang membagikan informasi ke media sosial atau grup chat, tanpa kroscek kebenarannya. Bahkan seringkali ia sendiri pun belum membaca informasi tersebut. Setelah info tersebar ke mana-mana baru tahu kalau ternyata info tersebut hoax. 

Ada juga orang yang asal berkomentar terhadap suatu berita hanya dengan membaca judul tanpa memahami isinya secara utuh. Atau kasusnya seperti anak saya tadi, yang katanya sih sudah membaca, tapi kenyataannya tidak paham apa yang dibaca, sehingga tidak bisa menjawab pertanyaan, yang jawabannya ada pada bacaan tersebut. Nah hal-hal seperti ini termasuk indikasi krisis literasi. 

Krisis Literasi Menumbuhkan Mentalitas Instan 

Salah satu hal yang cukup mengkhawatirkan dari darurat literasi bagi saya adalah munculnya mentalitas instan. Mental yang inginnya cepat dalam mendapatkan sesuatu. Lebih mementingkan hasil daripada proses. Yang penting dapat jawabannya cepat, ngapain harus repot-repot membaca. 

Memang sih, mesin pencari di internet lazim digunakan orang saat membutuhkan suatu informasi. Tapi untuk seusia Thifa, tujuan PR dari sekolah bukan itu. Bukan asal jawabannya benar dan nilai bagus. PR diberikan agar anak-anak mau belajar, mau membaca.

Melek teknologi baik, tapi jangan menjadi candu!

Mentalitas instan, bisa jadi berpengaruh pada karakternya sampai ia dewasa nanti. Dalam salah satu artikel yang saya baca, seorang ahli psikologi berpendapat, bahwa budaya kemudahan yang mengelilingi kita saat ini dapat membentuk suatu watak yang tidak memiliki daya juang dikarenakan segalanya serba instan. Naudzubillahimindzalik...

Bahkan dari KompasTekno saya baca, dari DigitalTrends, psikolog dari Yale University melakukan eksperimen dengan melibatkan 1000 siswa untuk mengetahui bagaimana internet mempengaruhi cara manusia berpikir. Dalam salah satu tes, ada dua grup yang diberi sebuah pertanyaan.

Satu grup diberikan tautan ke sebuah situs pencari untuk mencari jawaban. Grup lainnya diberikan lembaran kertas berisi informasi terkait untuk menemukan jawabannya. Hasilnya, kedua grup membeberkan jawaban yang berbeda. Kelompok yang diberi lembaran kertas dinyatakan lebih kritis dalam mengemukakan jawabannya, karena menggabungkan antara informasi yang diperoleh dengan kemampuan intelektual. Sementara, grup yang diberi tautan situs, memindahkan mentah-mentah jawaban dari tautan tersebut. 

Tidak hanya itu, seorang psikolog bernama Betsy Sparrow dari Colombia University, sebagaimana diwartakan The Washington Post, mengatakan, mesin pencari dianggap memicu orang untuk malas mengingat, terutama untuk hal-hal yang dianggap dapat ditemukan di internet. Hayoo bener ngga nih?

Membaca Buku Cetak vs Membaca di Internet 

Suatu hari Thifa mendapat tugas dari gurunya untuk membaca kisah nabi-nabi. Thifa bertanya, “Mah, kalau bacanya dari internet boleh?” TIDAK jawab saya. 

Saya bukan orang tua yang saklek melarang anak bermain gawai dan buka-buka internet sih. Saya sadar juga internet menghadirkan manfaat yang cukup banyak bagi kehidupan, di samping dampak negatif yang sudah saya sebutkan tadi. Tapi kalau segala macam hal selalu dicari di internet saya tidak mengijinkan. Lho emang apa bedanya baca di buku sama di internet? Sama-sama baca kan.

Tidak harus baru, beli buku bekas juga oke

Ya tentu saja beda, karena medianya beda, dampaknya juga akan berbeda. Seorang psikolog anak, Luh Surini Yulia Savitri dari Klinik Terpadu Fakultas Psikologi Universitas Indonesia seperti yang dilansir antaranews mengatakan, kehadiran buku elektronik (e-book) alias buku yang bisa dibaca lewat gawai dengan mengunduhnya dari internet, tidak dapat menggantikan buku cetak. 

Saat membaca dari gawai, mereka hanya menggeser-geser layar. Sedangkan buku fisik itu berbeda-beda bentuk dan teksturnya, sehingga terjadi stimulasi sensorik pada saat membaca buku fisik. 

Di samping itu katanya, gawai membuat anak cepat sekali berpindah fokus. Dengan gawai, saat bosan mereka bisa dengan cepat berganti permainan atau tontonan. Ini bener banget, karena anak-anak itu kadang bilangnya mencari tutorial A di internet. Begitu saya tinggal sebentar, datang lagi pada mereka, lha kok udah nonton yang lain. Mereka bilang lihat tutorialnya sudah selesai, sekarang mau nonton yang lain dulu. Haduuuh.

Sementara itu, saya baca dari detikhealth, beberapa penelitian menunjukkan bahwa materi dari buku cetak lebih mudah diingat untuk jangka panjang dibanding membaca dari layar. 

Kate Garland, dosen psikologi di University of Leicester di Inggris menemukan bahwa memang tidak ada perbedaan dalam prestasi siswa ketika materi yang sama disajikan dalam bentuk digital maupun cetak. 

Namun, ia menemukan ada sedikit perbedaan jangka panjang yang penting. Dalam sebuah penelitian, ia meminta mahasiswa psikologi membaca materi ilmu ekonomi yang belum pernah dikuasai. Ia menemukan ada 2 perbedaan yang muncul. Pertama, diperlukan mahasiswa lebih banyak mengulang-ulang membaca lewat komputer untuk memahami informasi yang sama. Kedua, pembaca buku lebih mencerna materi secara lengkap. 

Bukan berarti saya mengatakan bahwa membaca di internet tidak bermanfaat ya. Tetep bermanfaat dong, namanya juga ilmu dan informasi bisa diperoleh dari mana saja. Tapi prioritaskan anak mengenal buku fisik terlebih dahulu, baru setelah itu perkenalkan pada teknologi. 

Mengajak Anak Mencintai Buku Mulai Dari Keluarga 

Ya keluarga. Karena keluarga adalah lingkungan terdekat bagi anak, apalagi yang masih seusia Thifa ke bawah. Meski sudah bersekolah dan beraktivitas lain di luar rumah tapi sebagian besar waktunya masih bersama keluarga. Jadi saya sadar penuh, saya dan Ayahnyalah yang paling bertanggung jawab untuk menumbuhkan rasa cinta buku pada anak-anak supaya mereka gemar membaca.

Komik favorit Thifa

Membaca itu tidak melulu harus membaca buku pelajaran ya. Membaca buku cerita atau komik juga baik kok. Banyak buku cerita ataupun komik yang menanamkan nilai kebaikan pada anak. 

Saat waktu libur tiba saya suka membawa anak-anak ke perpustakaan, sesekali ke ke toko buku dan masing-masing anak dipersilakan memilih sendiri buku yang disukainya. 

Buku anak beragam bentuk maupun isinya. Untuk Sarah si bungsu, saya memilihkan buku yang covernya tebal sehingga tidak mudah sobek. Sarah memang belum bisa membaca, tapi sedini mungkin dikenalkan pada buku supaya kelak ia suka membaca. 

Karena belum bisa baca, kami orang tuanya yang bertugas untuk membacakan cerita, kadang pula bisa didelegasikan ke kakak tugas tersebut hehe. 

Membacakan Adik buku cerita

Kalau Hana dan Thifa sudah bisa memilih buku sendiri. Sebelum membeli tentu saya ikut memeriksa apakah buku tersebut sesuai dengan usianya. Kadang bocah kan asal ambil aja ya yang sampulnya menarik perhatian, tanpa tahu isinya apa. Bagi mereka gambar kartun sama dengan buku anak. Padahal belum tentu. Komik misalnya, ngga semua cocok buat anak kecil. Ada juga komik yang diperuntukkan remaja atau bahkan dewasa.

Thifa sama Hana sukanya sih saat ini membaca komik. Saya arahkan mereka untuk beli juga komik edukasi atau komik anak islami jadi selain dapat hiburannya mereka juga mendapat pelajaran dari membaca komik.

Saya bilang pada anak-anak, kalau sudah beli harus dibaca, nanti kalau sudah selesai baru boleh beli buku yang baru lagi. 

Saya suka bikin sesi membaca buku bersama di rumah. Anak-anak baca buku mereka, saya baca buku saya sendiri. Sebagai orang tua memang sudah seharusnya memberi contoh pada anak mengenai kebiasaan membaca ini. Kebiasaan siapa sih yang paling utama diikuti anak, ya kebiasaan orang tua sebagai orang terdekatnya. 

Seusai membaca buku, maka saya akan minta mereka menceritakan kembali apa yang sudah dibacanya. “Ceritakan dengan bahasa kamu sendiri, kata-katanya tidak perlu sama persis plek di buku.” 

Biasanya saya mencontohkan dulu. Saya baca satu cerita di buku yang sudah mereka baca, lalu saya menceritakan kembali dengan bahasa saya sendiri. Kenapa saya menerapkan ini? Karena kadang anak asal membaca tanpa paham maksudnya apa. Saat mau ujian, menghafalkan isi buku mati-matian, selesai ujian lupa. Makanya saya tanamkan pada mereka, buku itu, dibaca dan dipahami isinya apa. Bukan dihafalkan, kecuali yang isinya teks Pancasila, undang-undang dan sejenis itu ya.

Piknik literasi di Desa Bahasa Borobudur
Setelah Membaca Ayo Kita Menulis 

Kemampuan membaca dan menulis merupakan satu kesatuan yang ada dalam literasi. Thifa semenjak sudah bisa menulis huruf, saya dorong untuk bisa terus mengembangkan kemampuan menulisnya. Menulis yang saya maksud di sini bukan sekedar menggoreskan tinta di atas kertas, tapi bagaimana ia bisa menuangkan gagasan maupun imajinasinya dalam bentuk tulisan. 

Seringkali ia meminjam laptop saya untuk mengetik cerita. Bahkan sekarang, ia juga sudah menulis di blog. Bagaimana cara saya mengembangkan kemampuan menulisnya? Saya bebaskan ia menulis sendiri dulu apa yang ada di pikirannya. Setelah selesai, akan saya baca, dan beritahu apa-apa saja yang perlu diedit dalam tulisannya, apa yang salah (biasanya penempatan tanda baca dan huruf besar kecil) atau kata yang sebaiknya diganti.


Karangan Thifa saat kelas 1 SD
Meski keterampilan menulis dengan keyboard cukup penting dikuasai, saya tetap mendorong ia latihan menulis dengan tangan, “Tulis tangan dulu kak, di buku, nanti kalau sudah selesai pindahkan ke blog,” kata saya. Mengapa demikian? Karena menurut para ahli, kemampuan motorik yang terasah dengan menulis tangan sangat dibutuhkan terutama untuk anak-anak. 

Peran Aktif Masyarakat Mensukseskan Gerakan Literasi Nasional 

Dari jaman masih SD dulu, saya punya cita-cita untuk menjadi penulis. Tapi kesampaian baru setelah jadi emak-emak hahaha. Menurut saya salah satu faktor yang menyebabkan karena tidak adanya support system. Jaman dulu umumnya kegiatan anak ya, sekolah, pulang garap PR, sore ke TPQ, besok sekolah lagi. Begitu terus selama 12 tahun hahaha. Ekstra kurikuler di sekolah terbatas, rata-rata pilihannya hanya ekskul musik dan olahraga. Ekskul jurnalistik masih sangat minim. 

Orang tua juga masih jarang yang mengeksplor bakat dan minat anak. Mungkin karena belu, paham dan tidak ada informasi yang menyadarkan mereka akan pentingnya hal ini. Ya maklumlah jaman dulu akses informasi tidak semudah dan seterbuka sekarang kan. 

Beruntung saat ini masyarakat sudah banyak yang tergerak untuk ikut mensukseskan gerakan literasi. Saat ini ada banyak Taman Bacaan Masyarakat (TBM) yang dibuat untuk meningkatkan minat baca dan memfasilitasi masyarakat akan buku bacaan. Daftar TBM yang ada di seluruh Indonesia bisa dicek di web kemdikbud.

Gerobak Batja (Foto dari IG @gerobakbatja)

Salah satu TBM yang ada di kota saya, Semarang, adalah Gerobak Batja. Gerobak Batja merupakan perpustakaan keliling berbentuk gerobak yang ditempatkan di ruang publik dan dapat diakses oleh siapapun secara gratis. Gerobak Batja ini dikelola oleh kelompok diskusi Mlandingan bersama Alumni SMA Negeri 3 Semarang (ALSTE) angkatan 1999. 

Bentuk gerobak sengaja dipilih supaya menarik perhatian, karena sasaran awalnya adalah anak-anak, supaya membiasakan mereka gemar membaca sedari kecil. 

Sekretariat Gerobak Batja ada di Bukit Mutiara Jaya, Meteseh, Semarang. Akan tetapi TBM ini ternyata juga memiliki taman baca di kota lain, yaitu Jepara, Tangerang, bahkan Sumatera. Di Semarang, Gerobak Batja bisa kita temukan di beberapa titik yaitu Taman Tirto Agung, Upgris, Srinindito, Taman Bumi Redjo, Srigunting dan Rejomulyo di hari-hari tertentu. 

Selain Taman Baca, saat ini juga banyak komunitas di bidang literasi, misalnya komunitas mendongeng, komunitas penulis, dan komunitas komik. Saya sendiri termasuk salah satu yang ambil bagian dalam menggerakkan komunitas berbasis literasi digital, yaitu komunitas blogger khusus perempuan area Semarang dan sekitarnya yang kami beri nama Gandjel Rel. Beberapa kegiatan yang pernah kami selenggarakan antara lain, pelatihan menulis blog, pelatihan menulis artikel traveling, pelatihan copywriting, pelatihan SEO, dan pelatihan menulis untuk media online.

Komunitas blogger Gandjel Rel mengisi pelatihan blog untuk umum

Ayo Dukung Gerakan Literasi Nasional 

Gerakan Literasi Nasional (GLN) digiatkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan semenjak tahun 2016 sebagai bagian dari implementasi dari Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. 

Seberapa penting gerakan literasi ini? Mengutip pernyataan dari Menteri Pendidikan Muhadjir Effendy, bangsa dengan budaya literasi tinggi menunjukkan kemampuan bangsa tersebut berkolaborasi, berpikir kritis, kreatif, komunikatif sehingga dapat memenangi persaingan global. 

Sebagai individu bagian dari keluarga dan anggota masyarakat, mari turut serta menyelamatkan anak negeri dari krisis literasi.



Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba blog Pendidikan Keluarga Kemdikbud
#SahabatKeluarga #LiterasiKeluarga

37 comments:

  1. Thifa jago bgd nulisnya. Lanjutin ya thifa, semangat. Seneng deh ada gerakan2 nyata utk meningkatkan kemampuan literasi anak2 hingga org dewasa. Optimis kedepannya kemampuan literasi anak bangsa insyaAllah meningkat drastis aamiin

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih tantee. Pengen thifa bisa nulis biar bs collab bikin buku sama emaknya someday.

      Delete
  2. Literasi kini memang seolah suda terlupakan gitu ya :'

    ReplyDelete
  3. Mesin pencari memang bermanfaat tapi kalau terlalu tergantung gak baik juga ya, contohnya anak-anak jadi malasm membaca dengan teliti buku sekolahnya. Mudah-mudahan anak-anak bisa makin meningkatkan lagi literasinya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nah iya kalonpakai google relatif lbh cepet. Plus tombol ctrl+f hahaha

      Delete
  4. Wah serunya main di desa bahasa ya...semoga daerah lain juga punya program kayak gini. Karena literasi sekarang penting banget...Gak suka baca tapi suka auto share..hoho dmpaknya seremmmm

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iyaa seru apalagi bareng temen2 penulis n blogger

      Delete
  5. THifaaaaa, cantik, pintar shalihaaatt
    Makasii Mba udah kasih insight soal literasi ya
    Puentiiing banget utk anak jaman now
    --bukanbocahbiasa(dot)com--

    ReplyDelete
  6. Semoga budaya literasi Indonesia semakin baik kedepannya...

    Mulai dari kelompok terkecil dalam masyarakat yaitu keluarga...

    ReplyDelete
  7. Literasi seperti ini harus selalu kita giatkan ya mba. Senangnya anak anak sudah punya semangat untuk membaca ya mba

    ReplyDelete
  8. Literasi salah satunya membaca emang cukup penting ya mbak. AKu jg lagi nargetin anak2 supaya bisa baca trus abis itu aku mau ajari mereka nulis, kalau perlu mengetik dan bikin blog :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iyaa biar kaya emaknya yaa langganan juara lomba blog hehe.

      Delete
  9. Thifa kaya ponakanku sih. Kalau PR nanya mulu jawabannya gimana padahal ada di materi. Jadi aku yang ribut untuk selalu bilang bahwa materi harus dibaca terus dan terus. Ponakanku sampai bosen dengernya. Tapi akhirnya dia mau baca, hahaha

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kudu dipaksa ya haaha. Dan dicontohkan juga tntunya kalo membaca itu asyik.

      Delete
  10. Anakku lebih suka dibacain emaknya karena emang anak sulungku gaya belajarnya auditori lebih suka dengerin dan cepet nangkap mba. nah itu gmn ya malas jugakah mba?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mungkin tahapan anak ada yg beda. Semakin gede insyaAlloh akan suka baca sendiri.

      Delete
  11. Duh, di sekolah jav enggak pakai buku cetak, jadi kalau ada pr biasanya nyari di internet, huhu...

    ReplyDelete
  12. Tulisan Thifa bagus dan rapi, ayo kita ajak anak suka nulis biar jadi bekal mereka di masa depan, lebih lancar studinya ya Insya Allah..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Pengen belajar nulis cerita, ajarin doong tante dedew.

      Delete
  13. iya, kadang anak asal baca aja, tanpa memahami maknanya. Selesai membaca, disuruh cerita bingung mengungkapkan. Memang harus diasa keduanya ya, membaca dan juga menuangkan gagasan dalam bentuk tulisan

    ReplyDelete
  14. Setuju 1000%, literasi emang bukan baca asal baca tapi juga harus memahami isi bacaan dan itu memang harus dilatih ya mbak. Tantangan untuk menumbuhkan budaya literasi di zaman sekarang emang besar banget.

    ReplyDelete
  15. Ternyata anak anak saya sama juga ya dengan anak mbak Rahmi. Kalau ada PR pasti aja minta dicariin jawabannya. Padahal ada di buku. Ckckck ckk nih anak zaman now ya heuheu

    ReplyDelete
    Replies
    1. Itulah mbaa. Harus mendidik dia agar mau berusaha.

      Delete
  16. Tulisan Thifa rapi sekaliiii
    Saya sepakat mbak bahwa krisis literasi mesti jadi fokus semua pihak. Mengingat literasi tinggi menunjukkan kemampuan bangsa ini berkolaborasi, berpikir kritis, kreatif, komunikatif sehingga dapat memenangi persaingan global nanti.
    Ulasan yang lengkaap..kaap!

    ReplyDelete
  17. Daku juga yang nggak begitu mengenalkan anak-anak untuk membaca secara digital, karena buatku membaca langsung lewat buku itu lebih mengasyikkan :)

    ReplyDelete
  18. Ya, anak usia sd biasanya masih susah menemukan jawaban dari dalam bacaan ya. Perlu dilatih terus.

    ReplyDelete
  19. Percakapan di awal paragraf sering terjadi juga di rumah saya, Mbak hiks...
    Sedih juga kalau anak kurang teliti membaca bukunya.
    Memang sebaiknya sebagai orang tua kita mencontohkan kebiasaan membaca buku di rumah ya, supaya anak-anak ikut senang membaca.

    ReplyDelete
  20. Kalau melihat pelajaran anak sekarang memang perlu banget literasi sejak dini. Lha gimana, wong semua ada cerita, disuruh memahami, lalu menyimpulkan. Sayangnya kadang kurang dukungan dlm proses pembelajaran. Misalnya jawaban harus seragam. Padahal aku yakin pemahaman anak berbeda-beda. Lha itu juga sebenarnya proses literasi. Tapi ya memang bth waktu. Nah, kadang waktu itu yang membuat proses literasi jadi terburu-buru.

    ReplyDelete
  21. secanggih-canggihnya sekarang banyak buku elektronik aku tetap cintanya ke buku cetak mbak. lebih nyaman di mata dan nyata *eyaa..
    ka thifa pinter sekali, tulisannya cantik
    penerus bunda nih jadi penulis..

    ReplyDelete
  22. Sebuah tantangan besar untuk para guru dan orang tua zaman now untuk tetap membiasakan budaya literasi pada anak.

    ReplyDelete
  23. Anak2 sekarang tuh memang males baca buku... Tapi rajin baca WA... Ehhh
    Sering banget ngajarin ponakan belajar, kasusnya sama enggak ada jawaban karena enggak teliti membaca.
    Kalau muridku di sekolah, saking malesnya baca, ngerjain test 40 soal tapi nyilangnya sampai no.50 kan parahhh bgt...

    ReplyDelete
  24. Memurut saya, kita sedang dihadapkan dengah tantangan zaman dimana anak-anak tak lagi membawa buku namun gadget.

    ReplyDelete
  25. Wahh ini keponakn aku banget mbak
    Kalau belajar sama aku juga gitu bilangnya ga ada. Begitu aku sorot dan baca ringkasan materinya. Ehh nemuin aja jawabannya wkkwkw
    Tapi lama kelamaan dia apal sendiri deh cari dulu di bahan bacaannya hheee

    ReplyDelete
  26. Mengajak anak-anak sejak dini menyukai bacaan itu wajib ya, karena akan membantu proses mereka kelak mencintai buku. Meski sekarang bisa cari info di Google, aku tetap lebih suka baca buku secara fisik, megang kertasnya lebih asik

    ReplyDelete
  27. Nah sama nih kasusnya. Belum baca dengan teliti yapi udah bilang jawabannya gak ada di buku paket. Akhirnya sekarang salah satu maksa dia untuk baca buku paket ya aku gak mah jawabin pertanyaann dari soalnya.

    ReplyDelete