Thursday, March 13, 2025

Dear, Papa

Dear, Papa ...

Ijinkan Dek Ami menulis lagi tentang Papa. Katanya, ingatan manusia itu terbatas. Mungkin apa yang dek Ami ingat sekarang, esok hari bisa terlupa. Ya, semoga jangan, tapi Dek Ami nggak mau melupakan tentang Papa. 

Pa, tahukah Papa, jauh sebelum Papa masuk rumah sakit kemarin itu, Dek Ami sering nangis dalam kesendirian karena mendengar kabar Papa sakit.



Ibu bilang,  kondisi Papa semakin lemah, mulai sulit bicara, diajak ngobrol kadang seperti orang linglung. Pedih sekali mendengar itu, Pa. Bahkan dulu, sebelum Papa pensiun tapi kita terpisah jarak, saat denger Papa sakit lututnya, hingga sholat pun harus sambil duduk, hatiku rasanya sedih Pa. Membayangkan Papa sakit, tanpa Dek Ami bisa berbuat apapun selain berdoa, dan menelepon untuk menunjukkan perhatian pada Papa.

Pa, kemarin begitu sampai rumah sakit, Dek Ami langsung nangis menyaksikan Papa terbaring di brankar. Tapi begitu Papa bangun, Dek Ami hapus air mata, pura-pura tenang, pura-pura senyum biar papa nggak kepikiran dan bertanya-tanya kenapa anaknya menangis. Dek Ami ingin Papa kuat, Papa semangat untuk sehat lagi.

Papa, Dek Ami lega Papa masih bisa merespon dengan baik saat dokter jaga datang dan menanyakan kondisi papa. Disuruh angkat kaki, Papa bisa, angkat tangan juga bisa. Lalu setelah dokter pergi Dek Ami tanya apa Papa mau makan, kata Papa mau. Papa terlihat lahap memakan roti pisang coklat dengan tangan sendiri meski sambil bergetar. Sesekali rotinya jatuh, Dek Ami letakkan lagi di tangan Papa. Setelah itu, Papa juga makan kue dadar coklat pisang sampai tandas. Papa masih seperti dulu ya, suka makan jajan.

Foto keluarga terakhir kita di lebaran tahun lalu


Papa masih bisa senyum ketika Alfa dan Thifa datang menyapa. Masih bisa video call sama Adek Dila juga. Waktu Mbak Lia cerita tentang dia pernah di rumah sakit pasca melahirkan cukup lama dan belum boleh pulang, Papa bahkan bisa nyeletuk, "Biar bayarnya banyak." Takjub, Pa. Dek Ami pikir, Papa pasti akan sembuh.

Waktu itu Papa sempet bilang "mulih", pulangh maksudnya, lalu mau turun tempat tidur karena ingin buang air kecil. Kami bilang, Papa di sini dulu, ya, biar sembuh dulu. Akhirnya Papa bilang iya.

Waktu masuk kamar, pun, kita masih ngobrol kan, Pa. Dek Ami tanya apa Papa mau nonton TV,  karena di rumah biasanya Papa nonton TV kalau sedang santai. Lalu Dek Ami hidupkan TV nya, ada film kartun, tapi Papa bilang ganti. Akhirnya Dek Ami cari channel sinetron. Tapi nggak lama kok, habis itu TV dek Ami matikan dan ganti dengan suara murrotal.

Saat dipasang kateter dan Papa kesakitan, habis itu Dek Ami dan Mbak Lia cerita kalau kami dipasang kateter juga waktu melahirkan. Papa masih bisa tanya apakah sakit waktu dilepas. Artinya Papa masih nyambung diajak bicara, kan, Pa.

Dek Ami berusaha mengajak ngobrol Papa, meski Papa nggak selalu menjawab atau kadang hanya menjawab dengan "Hmm, ya"

Papa, Dek Ami rasanya ingin menangis saat membimbing Papa mengucap bacaan sholat. Dulu, Papa kan yang ngajarin Dek Ami, sekarang gantian ya, Pa.

Dek Ami juga sempet ngaji di samping Papa. Surah Al Kahfi ayat 1-10. Dek Ami bilang sama Papa, "Dek Ami ngaji ya, Pa, nanti kalau ada bacaan yang salah, Papa koreksi."

Dek Ami inget Pa, kebiasaan sejak kecil dulu, tiap habis Magrib kita semua ngaji, kakak adik saling simak menyimak. Herannya, meski Papa nggak ikut buka bacaan quran yang sama, Papa bisa tahu kalau bacaan kami ada yang salah.

Papa sempet maksa mau bangun dari tempat tidur karena ingin ke kamar mandi. Capek ya, Pa tiduran terus. Gregetan mungkin rasanya ya, Pa. Dulu bisa jalan ke mana-mana, sekarang apa-apa harus dikerjakan sambil tiduran. Dek Ami juga sedih, Pa.

Akhirnya Papa mau berbaring lagi. Sempat menggigil seperti pagi saat dibawa ke RS. Padahal sudah pakai selimut, AC juga lalu dimatikan. Baru reda setelah dikasih obat lagi di infusnya sama dokter.

teman-teman Papa datang, Pa


Siangnya, Papa mau buang air besar, untung Papa nurut saat kami bilang, di diapers saja nanti dibersihkan. Waktu Dek Ami bertanya enaknya bersihkan sendiri apa dibantu perawat, Papa masih bisa jawab, dibantu. Tapi karena perawat datangnya lama, akhirnya Dek Ami sama Ibu yang membersihkan. Begitu perawat datang, dan langsung membantu kami, Dek minta baju Papa sekalian diganti dan badan Papa Dek Ami bersihkan seklian pakai tisu basah. Setelah itu tidur Papa nampak nyenyaak sekali. Kami pikir mungkin karena sudah bisa BAB jadi Papa merasa nyaman.

Habis makan siang, Papa masih bisa minum obat tablet lho, Pa, meski sedikit kepayahan. Lalu Papa makan roti lagi karena makan nasi Papa saat siang cuma sedikit bahkan makan jeruk juga.

Malamnya, Papa  makan lumayan banyak, pakai telur dan tahu. Senangnya. Tapi saat minum, kenapa Papa nggak bisa nyedot dari sedotan seperti sebelumnya?

Setelahnya kesadaran Papa semakin menurun. Perawat memeriksa tensi ternyata sangat rendah 60/47. Tiap kali suster keluar entah ambil apa. Dek Ami udah nangis-nangis, minta Papa bangun, peluk Papa, bahkan mengusapkan punggung tangan Papa di mata Dek Ami yang basah dengan air mata. Dek AMi sempat melihat mata Papa yang terpejam itu berair. Apa Papa nangis, Pa? Apa Papa bisa merasakan kesedihanku, namun tak kuasa berbuat apa-apa? Maaf, ya, Pa. Dek AMi malah takut kalau itu menyiksa Papa.

Tak henti-hentinya kami (saat itu Mbak Ika menyusul datang lagi ke RS) menuntun Papa istighfar dan mengucap Laailaahailallah.

Dek Ami tungguin Papa semalaman di depan ICU Pa, sementara Mbak Ika ambil darah untuk transfusi di PMI. Paginya, Dek Ami pamit mau pulang, cium tangan Papa dan kembali menuntun Papa untuk mengucap istighfar dan lailaahailallah. Mulut Papa nampak bergerak, semoga saat itu Papa masih bisa mengucap asma Allah meski tanpa suara ya, Pa.

Pulang dengan perasaan sedikit lega, karena perawat bilang setelah transfusi satu kantong darah, tensi Papa sudah naik jadi 80. Tapi saat perjalanan kembali menuju rumah sakit siangnya, Mbak Lia mengabarkan kondisi Papa memburuk. Tak lama setelah kami sampai di ICU dengan isak tangis, Allah berkehendak lain.

Besoknya kita baru ke makam papa

Kami sayang Papa, tapi rupanya Allah lebih sayang. Mudah-mudahan Papa sudah bahagia di alam sana. Allah ampunkan dosa Papa, dan terima segala amal kebaikan Papa. Kami bersaksi Papa adalah ayah yang baik, kami semua sayang Papa.



2 comments:

  1. Ya Allah sedihnya Nay. InsyaAllah papa Husnul khotimah. Aaminn Allahumma Aamiin

    ReplyDelete
  2. Innaliahi wa inna ilaihi rajiun..Al fatihah untuk Papa tercinta. Semoga Rahmi sekeluarga diberikan kekuatan dan kesabaran aamiin..

    ReplyDelete